
KATURI SPORT – Pada 23 Oktober 2025, International Olympic Committee (IOC) secara resmi menyatakan keprihatinan terhadap keputusan pemerintah Indonesia yang menolak menerbitkan visa bagi atlet dari Israel untuk mengikuti 53rd FIG Artistic Gymnastics World Championships yang diselenggarakan di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyebut keputusan itu didasari dukungan kuat terhadap negara Palestina dan penolakan terhadap kebijakan Israel di Gaza.
Dalam menghadapi situasi ini, juru bicara pemerintah Rusia mengeluarkan pernyataan yang menarik perhatian: mereka menuduh IOC menerapkan standar ganda dalam merespon penolakan visa atlet bukan‐Rusia dan atlet Israel.
Pernyataan Rusia dan Tuduhan Standar Ganda
Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, menyampaikan bahwa respons IOC terhadap kasus Indonesia–Israel menunjukkan adanya ketidakonsistenan ketika dibandingkan dengan sikap IOC terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina. Ia menilai:
“Tentu saja ada standar ganda,” kata Peskov kepada saluran olahraga Rusia Match TV.
Menurut Peskov, IOC pernah memberlakukan sanksi keras terhadap negara, federasi ataupun atlet asal Rusia terkait konflik Rusia-Ukraina, sedangkan dalam kasus negara yang menolak atlet Israel masuk (“karena politik”), terasa bahwa sanksi atau reaksi tidak sekeras terhadap Rusia yang dilarang kompetisi secara luas.
Rusia melihat bahwa jika penolakan visa terhadap atlet Israel dianggap pelanggaran prinsip non‐diskriminasi, maka konsistensi harus diterapkan juga terhadap penolakan, pembatasan, atau pembatasan hak atlet Rusia di arena internasional. Pernyataan ini menambah tekanan terhadap IOC dan juga memperumit posisi Indonesia.
Dampak dan Respon IOC terhadap Indonesia
Sebagai respons terhadap penolakan visa atlet Israel, IOC mengambil langkah‐langkah yang cukup tegas terhadap Indonesia:
- IOC merekomendasikan federasi olahraga internasional untuk tidak menggelar acara olahraga di Indonesia sampai jaminan diberikan bahwa semua atlet, tanpa terkecuali, dapat ikut.
- IOC juga menyatakan akan menghentikan dialog dengan Komite Olimpiade Nasional Indonesia (NOC Indonesia) sehubungan rencana Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade/Youth Olympics hingga ada kepastian akses bagi semua atlet.
- IOC menyatakan bahwa penyelenggara (host country) memiliki tanggung jawab untuk memastikan semua atlet yang memenuhi syarat dapat bertanding tanpa diskriminasi.
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir, menegaskan bahwa keputusan pembatalan visa tersebut didasarkan pada dasar hukum dan kewenangan nasional terkait keamanan dan ketertiban umum.
Perspektif Rusia dalam Kontes Ini
Rusia, melalui pernyataannya, menyoroti dua sudut pandang utama:
- Kritik terhadap inkonsistensi IOC — Bahwa jika IOC sangat menitikberatkan prinsip non-diskriminasi dalam kasus Israel, seharusnya perlakuan terhadap atlet Rusia yang dibatasi karena konflik Ukraina juga mendapat perlakuan yang sama tegas. Peskov menyebut tindakan IOC dalam kasus Rusia sebagai “munafik”.
- Solidaritas terhadap posisi Indonesia — Meskipun Rusia tidak secara langsung mendukung penolakan atlet Israel, pernyataan mereka memberi tekanan terhadap sikap global dan menunjukkan bahwa negara‐negara non‐Barat melihat adanya ketidakadilan dalam sistem olahraga internasional.
Implikasi dan Tantangan ke Depan
A. Bagi Indonesia
Dampak dari langkah IOC berpotensi besar: Indonesia, yang berambisi menjadi tuan rumah Olympic maupun Youth Olympic, kini menghadapi hambatan reputasi dan kerugian kesempatan. IOC telah menunda pembicaraan dengan Indonesia mengenai hosting masa depan.
Indonesia harus memilih: melanjutkan kebijakan penolakan visanya atau memberikan jaminan pada komunitas olahraga internasional agar akses atlet ke negara tersebut tidak dibatasi oleh faktor politik.
B. Bagi Sistem Olahraga Internasional
Kasus ini mempertegas bahwa olahraga sangat rentan terhadap geopolitik. Meski prinsip‐prinsip seperti netralitas politik dan non‐diskriminasi diabadikan dalam Piagam Olimpiade, kenyataannya sering dihadapkan pada konflik diplomatik dan tekanan domestik.
Jika IOC dianggap melakukan standar ganda, maka kredibilitas lembaga tersebut dalam menegakkan prinsip universal bisa tergerus. Rusia menyoroti keganjilan antara sanksi terhadap Rusia dan respons terhadap kasus seperti Israel–Indonesia. Hal ini mengundang pertanyaan: sejauh mana olahraga internasional benar‐benar netral atau bebas dari politik?
C. Bagi Atlet dan Federasi
Atlet dari Israel kehilangan kesempatan bertanding, dan hal ini dinilai secara luas sebagai pelanggaran hak fundamental untuk kompetisi.
Federasi internasional dan pengadilan olahraga seperti Court of Arbitration for Sport (CAS) menghadapi tantangan dalam menangani kasus yang berakar pada kebijakan visa dan politik negara‐tuan rumah. Dalam kasus ini, CAS menolak permohonan atlet Israel untuk intervensi.
Kesimpulan
Pernyataan Rusia yang menuding IOC menerapkan standar ganda dalam kasus penolakan visa atlet Israel oleh Indonesia menyoroti kerentanan sistem olahraga global terhadap pengaruh politik nasional dan diplomasi. Untuk Indonesia, ini bukan sekadar soal satu kejuaraan senam — tetapi soal reputasi, komitmen terhadap prinsip‐olahraga, dan kapasitas untuk menjadi tuan rumah event besar di masa depan.
Ke depan, bagaimana IOC, federasi olahraga, negara‐tuan rumah, dan komunitas internasional menanggapi dan mengelola konflik semacam ini akan sangat menentukan kredibilitas olahraga sebagai ruang yang mengutamakan kompetisi, kehormatan, dan persatuan antar bangsa.
