
KATURI BUSSINES – Harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan tajam pada perdagangan Kamis, 23 Oktober 2025 waktu setempat. Kenaikan tersebut mencapai lebih dari 5%, dipicu oleh keputusan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memberlakukan sanksi baru terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia. Langkah ini diambil sebagai tanggapan atas apa yang disebut Washington sebagai “kurangnya komitmen serius Moskow terhadap proses perdamaian” dalam konflik berkepanjangan di Ukraina.
Kebijakan tersebut memicu ketegangan baru di pasar energi global yang sudah rapuh akibat fluktuasi geopolitik dan perlambatan ekonomi. Para pelaku pasar menilai sanksi baru AS dapat memperketat pasokan minyak dunia, terutama karena Rusia masih menjadi salah satu eksportir minyak mentah terbesar di planet ini.
Sanksi Baru AS dan Dampaknya terhadap Pasar Energi
Dalam pernyataan resminya, Gedung Putih mengumumkan bahwa sanksi tersebut menargetkan dua raksasa energi Rusia — Rosneft dan Lukoil — dengan membatasi akses mereka terhadap sistem keuangan internasional serta melarang ekspor teknologi energi dari perusahaan AS. Kebijakan ini juga membekukan aset perusahaan terkait di wilayah yurisdiksi Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya.
Pemerintahan Trump menilai Rusia tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam memenuhi perjanjian gencatan senjata dan langkah-langkah diplomatik untuk menghentikan konflik di Ukraina timur. Washington menuduh Moskow terus memasok dukungan logistik dan militer kepada kelompok separatis, meskipun berulang kali membantah hal tersebut.
Langkah sanksi ini dinilai sebagai eskalasi tekanan ekonomi yang berpotensi memperburuk hubungan AS–Rusia. Bagi pasar minyak, keputusan ini memunculkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan global dari Rusia yang selama ini menyumbang sekitar 10% dari total ekspor minyak mentah dunia.
Lonjakan Harga di Tengah Ketegangan Global
Di pasar berjangka New York Mercantile Exchange (NYMEX), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember naik 5,4% menjadi sekitar US$89,60 per barel. Sementara itu, minyak mentah Brent di pasar London meningkat 5,1% ke level US$93,80 per barel — level tertinggi dalam hampir dua bulan terakhir.
Kenaikan harga tersebut mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar bahwa sanksi baru akan mempersempit pasokan minyak global. Sebelumnya, pasar sempat mengalami stabilisasi setelah Arab Saudi dan negara-negara OPEC+ berkomitmen mempertahankan kebijakan produksi yang ketat hingga akhir tahun. Namun, dengan tambahan ketegangan dari sanksi terhadap Rusia, sentimen pasar kembali bergolak.
Analis energi dari JP Morgan, Michael Tran, mengatakan,
“Pasar minyak kembali berada dalam mode ‘geopolitical risk premium’. Selama Rusia menjadi target utama sanksi, investor akan memperhitungkan risiko gangguan pasokan sebagai faktor utama harga.”
Reaksi dari Rusia dan Dunia Internasional
Pemerintah Rusia mengecam keras keputusan AS tersebut. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut langkah itu sebagai “tindakan bermusuhan” yang tidak berdasar dan bertujuan melemahkan ekonomi Rusia. Ia menegaskan bahwa Moskow akan mencari cara untuk menyesuaikan jalur perdagangan minyaknya melalui negara-negara non-Barat seperti Tiongkok, India, dan negara-negara Timur Tengah.
“Langkah ini hanya akan mempercepat transisi ekonomi global menuju sistem perdagangan energi multipolar,” kata Peskov dalam konferensi pers di Moskow.
Tiongkok dan India — dua pembeli terbesar minyak Rusia sejak 2022 — belum memberikan tanggapan resmi, namun para analis memperkirakan kedua negara tersebut akan tetap melanjutkan pembelian mereka dengan mekanisme pembayaran alternatif di luar dolar AS, misalnya menggunakan yuan atau rupee.
Sementara itu, Uni Eropa menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Washington. Dalam pernyataannya, juru bicara Komisi Eropa menegaskan bahwa sanksi baru merupakan langkah “tepat” untuk menekan Rusia agar kembali ke meja perundingan.
Dampak Ekonomi dan Implikasi Global
Kenaikan harga minyak lebih dari 5% ini menimbulkan efek domino di berbagai sektor. Saham-saham energi seperti ExxonMobil, Chevron, dan Shell mengalami kenaikan tajam di bursa saham AS dan Eropa. Namun, di sisi lain, kenaikan harga minyak menimbulkan kekhawatiran terhadap inflasi global yang selama beberapa bulan terakhir mulai menurun.
Negara-negara pengimpor energi seperti Jepang, Korea Selatan, dan sebagian besar negara Eropa akan menghadapi tekanan biaya tambahan pada sektor transportasi dan industri. Di Indonesia, misalnya, lonjakan harga minyak dunia berpotensi mendorong harga BBM non-subsidi naik dalam beberapa minggu mendatang jika tren ini berlanjut.
Ekonom dari Bank Dunia memperingatkan bahwa jika ketegangan AS–Rusia terus meningkat, harga minyak dapat kembali ke level US$100 per barel, mengingat pasokan dari Timur Tengah juga masih dibayangi ketidakpastian akibat konflik di kawasan tersebut.
Prospek Pasar ke Depan
Meski lonjakan harga minyak saat ini bersifat reaktif, para analis memperkirakan volatilitas akan tetap tinggi selama ketegangan geopolitik belum mereda. Langkah AS menambah daftar panjang sanksi terhadap Rusia sejak invasi Ukraina pada 2022, dan dampaknya kini semakin luas ke sektor energi global.
Investor kini menunggu langkah lanjutan dari OPEC+ — apakah mereka akan menambah pasokan untuk menstabilkan harga atau justru mempertahankan strategi pengendalian produksi guna menjaga pendapatan negara produsen.
Kesimpulan
Kenaikan harga minyak lebih dari 5% pada perdagangan Kamis menjadi sinyal kuat bahwa pasar energi global masih sangat sensitif terhadap dinamika politik internasional. Sanksi baru AS terhadap perusahaan minyak raksasa Rusia bukan hanya menambah tekanan ekonomi bagi Moskow, tetapi juga mengancam keseimbangan pasokan minyak dunia.
Dalam jangka pendek, lonjakan harga minyak mungkin menguntungkan negara eksportir, namun bagi perekonomian global yang sedang berjuang menurunkan inflasi, hal ini bisa menjadi pukulan baru. Ketegangan geopolitik kembali menjadi faktor penentu utama di pasar energi — mengingatkan dunia bahwa harga minyak tidak hanya ditentukan oleh produksi dan permintaan, tetapi juga oleh politik dan kekuasaan di panggung global.
