
KATURI NEWS – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait isu pengelolaan kas daerah akan tetap terjadi, namun “kapan” belum bisa dipastikan. “Nanti juga kita ketemu pasti. Saya enggak tahu (kapan) kan beda agenda. Kita enggak bisa ngatur-ngatur, kayak ketemu pacar aja,” ujar Dedi saat ditemui di Gedung BPK Jawa Barat di Bandung, Jumat 24 Oktober 2025.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Dedi, dialog dengan pihak pusat — meskipun penting — tetap memiliki unsur fleksibilitas dan agenda yang tak sepenuhnya berada di bawah kontrolnya.
Selain itu, Dedi juga menyinggung penundaan pembayaran dana transfer ke daerah untuk tahun 2026, di mana untuk Jawa Barat disebut tertunda senilai Rp 2,45 triliun. Ia menguatkan bahwa penundaan tersebut menurut dirinya terjadi karena terjadi anggapan bahwa pemerintah daerah tidak membelanjakan keuangannya dengan baik dan menyimpan anggaran di bank dalam bentuk deposito.
Polemik Kas Daerah “Mengendap” dan Klarifikasi dari Jawa Barat
Inti dari perselisihan ini adalah pernyataan Menteri Keuangan bahwa terdapat sejumlah daerah yang menyimpan kas daerahnya dalam bentuk deposito di perbankan—sesuatu yang menurutnya bertentangan dengan prinsip pengelolaan keuangan daerah.
Dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah pada Senin 20 Oktober 2025, Purbaya menyebut bahwa terdapat sekitar 15 pemerintah daerah yang memiliki simpanan dana tertinggi di bank, termasuk Provinsi Jawa Barat dengan angka Rp 4,17 triliun.
Menanggapi hal ini, Dedi secara terbuka membantah Pemprov Jawa Barat melakukan penyimpanan dana dalam bentuk deposito. Ia mengatakan telah mengecek ke Bank Jabar Banten dan menyatakan bahwa tidak ada dana yang disimpan dalam deposito. Justru, menurut dia, dana kas daerah yang ada berbentuk giro yang bisa digunakan sewaktu-waktu.
Dedi pun meminta Menteri Keuangan agar secara terbuka menyampaikan data daerah-mana saja yang melakukan penyimpanan dalam deposito agar tidak muncul kesan bahwa kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah diragukan.
Konflik Pernyataan & Kritik terhadap Akurasi Data
Terdapat ketegangan yang cukup tajam antara kedua pihak, terutama terkait sumber data dan interpretasi. Purbaya mempertahankan bahwa data pengendapan dana berasal dari laporan perbankan yang dilaporkan ke Bank Indonesia (BI) dan ia menegaskan bahwa jika Dedi merasa data yang disampaikan salah, maka bisa dicek langsung ke BI.
Sementara itu, pengamat sempat menyoroti bahwa menteri keuangan perlu lebih berhati-hati ketika mengungkap data teknis semacam itu untuk menghindari kesalahpahaman atau tudingan fitnah.
Dedi pun menunjukkan inkonsistensi dalam argumentasi menteri: pertama dikatakan bahwa deposito bertentangan dengan prinsip pengelolaan keuangan daerah — kemudian dikatakan bahwa penyimpanan di giro justru “rugi” karena bunganya lebih kecil. “Kata beliau disimpan dalam deposito itu bertentangan… Tapi hari ini, beliau bilang lagi kalau disimpan di giro justru rugi karena bunganya kecil,” kata Dedi.
Dampak dan Tinjauan Kritis atas Isu ini
Kasus ini menarik karena menyentuh dua hal besar dalam tata kelola keuangan daerah: kecepatan dan efektivitas belanja pemerintah daerah serta transparansi pengelolaan kas daerah.
- Bila benar-benar terjadi bahwa kas daerah “mengendap” dalam bentuk deposito yang tidak segera dibelanjakan, maka artinya potensi manfaat bagi masyarakat menjadi tertunda. Purbaya menilai bahwa pengelolaan kas yang buruk bisa menghambat efektivitas anggaran publik.
- Namun, dari sisi Dedi, penempatan dana kas di giro aktif sebetulnya menunjukkan bahwa dana siap digunakan, bukan “parkir” dalam deposito. Ia juga menunjukkan bahwa anggapan adanya deposito sebesar Rp 4,17 triliun di Pemprov Jawa Barat tak terbukti.
- Persoalan utamanya kemudian adalah: bagaimana transparansi data pengelolaan kas daerah dapat ditingkatkan agar tidak menimbulkan persepsi negatif tentang komitmen daerah terhadap belanja publik?
- Juga penting: definisi “mengendap” perlu dijelaskan dengan baik — apakah hanya karena masih berada di rekening bank dan belum dibelanjakan, atau memang secara eksplisit disimpan dalam jangka waktu tertentu untuk mendapatkan bunga (deposito)? Perbedaan antara “giro” dan “deposito” menjadi kunci dalam debat ini. 1
- Dari sisi hubungan pusat-daerah, kejadian ini bisa berdampak pada kepercayaan antara pemerintah pusat (Kemenkeu) dan pemerintah provinsi. Bila data pusat dipertanyakan oleh daerah, maka dialog dan kerjasama bisa terganggu.
Kesimpulan
Pernyataan Dedi Mulyadi yang menyinggung bahwa pertemuan dengan Menkeu Purbaya “kayak ketemu pacar aja” mencerminkan sikap santai namun tegas dalam menghadapi isu serius—yakni dugaan pengendapan dana APBD di bank. Ia menegaskan bahwa Provinsi Jawa Barat tidak melakukan penyimpanan dana dalam bentuk deposito seperti yang disebut oleh Purbaya, dan menuntut data yang transparan. Di sisi lain, Purbaya berdiri pada data perbankan yang dikumpulkan oleh BI, dan menekankan perlunya pengelolaan kas daerah yang efisien.
Yang jelas, isu ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai bagaimana kas daerah dikelola, bagaimana daerah dan pusat saling berkoordinasi, dan bagaimana transparansi serta akuntabilitas dijaga agar kepercayaan publik tidak tergerus.
Ke depan, yang akan sangat menentukan adalah hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kas daerah, serta klarifikasi resmi dari kedua belah pihak agar polemik tidak terus berlarut-larut.
