
KATURI HOT – Sebanyak 1.365 jiwa dari korban bencana banjir di Batuhula, Kecamatan Batang Toru — Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara — masih bertahan di posko pengungsian setelah bencana bandang melanda wilayah mereka. Setelah 13 hari mengungsi, kondisi kesehatan para pengungsi mulai memprihatinkan: banyak dari mereka, khususnya anak-anak dan lansia, terserang infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) serta penyakit kulit akibat lingkungan pengungsian yang kurang ideal.
Lonjakan Kasus ISPA dan Penyakit Kulit
Menurut laporan di posko Batuhula, sejumlah pengungsi — seperti seorang ibu bernama Siti Aisyah — menyatakan bahwa anak-anaknya sempat mengalami pilek, batuk, demam, bahkan muntah dan mual sebelum akhirnya sempat membaik.Tim medis di posko, termasuk seorang dokter bernama Mayor Ari Nasir, memastikan bahwa ISPA menjadi penyakit dominan, terutama di kalangan anak-anak, sementara penyakit kulit menyerang banyak lansia. Penyakit kulit ini diduga dipicu oleh kondisi lingkungan yang kotor, sisa lumpur pasca-banjir, serta kurangnya fasilitas kebersihan dan sanitasi di lokasi pengungsian.
Statistik dari lembaga kesehatan pun memperlihatkan tren mengkhawatirkan: di wilayah Sumatera Utara, termasuk Tapsel, jumlah kasus penyakit kulit dan ISPA meningkat tajam sejak bencana.
Kondisi Posko dan Tantangan Logistik
Meski kebutuhan makanan sehari-hari — termasuk makanan siap saji serta perlengkapan bayi seperti susu dan popok — diklaim sudah terpenuhi di posko Batuhula, fasilitas dasar lain seperti selimut, kebersihan lingkungan, dan sanitasi dinilai sangat minim. Kapasitas tempat pengungsian juga disebut tidak memadai untuk menampung jumlah pengungsi sebanyak itu.
Karena keterbatasan tersebut, banyak pengungsi yang akhirnya memilih untuk “memecah” pengungsian — artinya, mereka bertahan di rumah warga atau lokasi darurat lain, sambil tetap mengambil jatah bantuan makanan dari posko. Kondisi ini membuat risiko penyebaran penyakit meningkat, terutama penyakit pernapasan dan kulit, khususnya pada anak-anak dan lansia yang lebih rentan.
Dampak dari Bencana Lebih Luas di Tapsel
Bencana banjir dan longsor di Tapsel telah menyebabkan kerusakan yang masif. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 1.660 unit rumah rusak, dan korban tewas makin bertambah — hingga 85 jiwa, dengan puluhan orang lainnya hilang atau luka-luka. Ribuan warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka tidak lagi bisa dihuni.
Sementara itu, posko pengungsian seperti di Batuhula tetap menjadi tempat utama bagi banyak warga untuk berlindung sementara waktu. Namun tekanan karena jumlah pengungsi besar, fasilitas terbatas, serta sanitasi buruk menjadikan lingkungan tersebut sangat rentan terhadap wabah penyakit—sebuah tantangan baru pasca-bencana.
Butuh Respon Cepat: Kesehatan & Sanitasi Mendesak
Situasi di Batuhula dan sejumlah posko pengungsian di Tapsel menunjukkan bahwa krisis pasca-banjir tidak hanya soal rumah dan kehilangan harta, tetapi juga kesehatan — terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Diperlukan respon cepat dari pemerintah daerah, organisasi kemanusiaan, dan fasilitas kesehatan untuk memperkuat penyediaan:
- fasilitas tidur yang layak (selimut, alas tidur),
- sanitasi dan kebersihan lingkungan pengungsian,
- akses air bersih dan air layak minum,
- layanan medis, pemeriksaan rutin, dan pendistribusian obat dasar.
Penanganan kesehatan serta pencegahan penyebaran penyakit harus menjadi prioritas untuk mencegah krisis kesehatan yang lebih besar.
Kesimpulan
Banjir dan longsor di Tapanuli Selatan telah membawa dampak yang sangat luas — dari kerusakan rumah, korban jiwa, hingga krisis pengungsian. Namun setelah lebih dari satu minggu mengungsi, para korban bukan hanya menghadapi kehilangan tempat tinggal, melainkan juga menghadapi ancaman kesehatan serius: ISPA dan penyakit kulit mulai menghantam. Situasi di posko pengungsian seperti Batuhula memperlihatkan bahwa pemulihan pasca-bencana bukan sekadar membangun rumah, tetapi juga memulihkan kesehatan, kualitas hidup, dan keamanan bagi warga terdampak.
