
KATURI NEWS – Pada awal Desember 2025, ESDM resmi mengeluarkan regulasi baru berupa Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01.MEM.B/2025 yang mengatur tarif denda administratif bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan secara ilegal — mencakup komoditas seperti nikel, bauksit, timah, dan batu bara.
Regulasi ini menjadi bagian dari upaya penegakan hukum di sektor pertambangan dan lingkungan, mengikuti instruksi dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang dipimpin oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui surat nomor B-2992/Set-PKH/11/2025 tertanggal 24 November 2025.
Menurut keputusan tersebut, denda administratif tidak lagi berupa denda umum, melainkan ditetapkan berdasarkan jenis komoditas pertambangan dan per hektarnya — dengan besaran yang cukup tinggi untuk memberi efek jera.
Besaran Denda per Komoditas
Aturan baru menetapkan tarif denda sebagai berikut:
- Untuk komoditas nikel: denda sekitar Rp 6,5 miliar per hektare.
- Untuk bauksit: tarif denda ditetapkan sekitar Rp 1,76 miliar per hektare.
- Untuk timah: denda sekitar Rp 1,25 miliar per hektare.
- Untuk batu bara: denda lebih rendah — sekitar Rp 354 juta per hektare.
Penetapan nominal ini mengikuti kesepakatan dalam rapat Satgas PKH dan disesuaikan dengan rekomendasi dari Kejaksaan Agung sebagai Ketua Pelaksana Satgas.
Mekanisme Penagihan dan Penerimaan Negara
Penagihan denda administratif ini akan dilakukan oleh Satgas PKH. Jika terbukti melakukan pelanggaran — yaitu pertambangan di kawasan hutan tanpa izin atau melanggar izin yang berlaku — sanksi denda akan dikenakan sesuai komoditas dan luas lahan. Nilai denda yang terkumpul kemudian akan masuk sebagai bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari penegakan hukum terhadap tambang ilegal atau tambang yang melanggar regulasi lingkungan — sekaligus untuk memberi efek jera, agar perusahaan pertambangan mematuhi ketentuan izin, pengelolaan lingkungan, dan peraturan kawasan hutan.
Konteks dan Tujuan Kebijakan
Langkah ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menertibkan industri pertambangan agar tidak merusak lingkungan dan menghindari eksploitasi hutan secara ilegal. Sebelumnya, pemerintah telah mendapat instruksi dari Prabowo Subianto agar seluruh aktivitas pertambangan — terutama di kawasan hutan lindung — dievaluasi dan ditegakkan secara ketat.
Regulasi baru ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pemberian izin dan hilirisasi, tetapi juga pada aspek penegakan hukum dan lingkungan. Dengan denda yang sangat besar per hektare, diharapkan perusahaan tambang mempertimbangkan kembali rencana eksploitasi di kawasan hutan tanpa izin atau izin yang tidak lengkap.
Potensi Dampak terhadap Perusahaan Tambang dan Lingkungan
Dengan diberlakukannya aturan denda administratif ini, perusahaan tambang yang sebelumnya melakukan kegiatan di luar izin yang sah atau di kawasan hutan tanpa izin resmi menghadapi risiko finansial yang besar — terutama bila melibatkan lahan luas. Menurut data awal Satgas PKH, beberapa perusahaan tambang telah disanksi dan dikenakan denda kolektif senilai triliunan rupiah.
Di sisi lain, kebijakan ini diharapkan memberikan efek positif bagi pelestarian lingkungan — mengurangi deforestasi ilegal, menjaga kawasan hutan, dan memaksa perusahaan untuk mematuhi regulasi lingkungan serta izin resmi sebelum beroperasi.
Tantangan dan Hal yang Perlu Diwaspadai
Meskipun niat kebijakan jelas — menindak tambang ilegal dan menjaga kelestarian hutan — implementasinya menghadapi sejumlah tantangan:
- Verifikasi lokasi tambang dan status kawasan hutan terkadang kompleks, terutama di area terpencil atau di lahan sebelumnya telah berubah fungsi.
- Penagihan denda dan proses administratif kepada perusahaan besar bisa memakan waktu dan mengundang keberatan atau sengketa hukum.
- Denda besar per hektare bisa membebani perusahaan — dan berpotensi mempengaruhi investasi tambang — sehingga pemerintah dan regulator harus memastikan bahwa proses identifikasi pelanggaran dilakukan secara transparan dan akurat.
Kesimpulan
Dengan keluarnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01.MEM.B/2025, pemerintah melalui ESDM dan Satgas PKH menunjukkan komitmen nyata untuk menindak tambang ilegal di kawasan hutan — memberikan sanksi berupa denda administratif yang cukup besar terhadap komoditas pertambangan seperti nikel, bauksit, timah, dan batu bara.
Aturan ini bukan sekadar simbol, tetapi alat hukum dan fiskal — yang sekaligus berfungsi sebagai deterent bagi pelaku usaha untuk mematuhi regulasi lingkungan dan izin resmi. Jika dijalankan dengan konsisten dan adil, kebijakan ini berpotensi memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia, sekaligus membantu menjaga kelestarian kawasan hutan.
