
KATURI NEWS – Menurut data terbaru dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pada tahun 2024 tingkat kesuburan (fertility rate) di Amerika Serikat turun ke angka kurang dari 1,6 anak per wanita — rekor terendah sepanjang sejarah modern AS.
Angka ini jauh di bawah tingkat pengganti populasi (replacement rate) yang umumnya dipandang sekitar 2,1 anak per wanita. Tren penurunan ini sudah berlangsung selama hampir dua dekade, seiring dengan semakin banyak perempuan yang menunda memiliki anak atau memilih untuk tidak memiliki anak.
Walaupun ada laporan bahwa total kelahiran secara absolut (jumlah bayi yang lahir) pada 2024 sedikit meningkat dibanding tahun sebelumnya, peningkatan itu dipandang sebagai fluktuasi jangka pendek — bukan perubahan tren besar.
Para demografer menyebut fenomena ini sebagai bagian dari pergeseran demografi dan gaya hidup modern: banyak pasangan muda menunda pernikahan dan parenthood, beban ekonomi dan biaya hidup yang makin tinggi, serta ketidakpastian ekonomi menjadi faktor yang membuat orang ragu untuk punya anak.
Respons Trump: Dorongan untuk “Lebih Banyak Anak”
Menanggapi penurunan angka kelahiran tersebut, pemerintahan Trump kini menggalakkan kebijakan pronatalis — yakni kebijakan yang mendorong warga AS untuk memiliki lebih banyak anak.
Salah satu langkah yang diusulkan adalah pemberian “baby bonus” — insentif tunai (sekitar US$5.000 per bayi baru lahir) sebagai upaya mempermudah beban awal keluarga. Pemerintah juga mempertimbangkan kemudahan akses layanan fertilisasi maupun dukungan kebijakan untuk meringankan biaya kehamilan dan kelahiran.
Ide ini bagian dari upaya untuk mengatasi apa yang dianggap krisis demografi jangka panjang: populasi yang menua, pekerja muda yang makin sedikit dibanding penduduk lanjut usia, dan potensi konsekuensi ekonomi serta sosial di masa depan.
Tantangan: Kenapa Insentif Belum Cukup untuk Mengubah Tren
Meskipun kebijakan semacam bonus atau insentif dapat membantu, banyak pakar meragukan apakah itu cukup untuk membalikkan tren penurunan kelahiran di AS.
Menurut survei terbaru, banyak warga AS justru merasa lebih penting bagi pemerintah untuk fokus pada akses perawatan anak (child-care), kesehatan ibu & anak, biaya pendidikan, dan kesejahteraan sosial daripada sekadar mendorong angka kelahiran.Isu seperti tingginya biaya hidup, mahalnya perumahan, dan ketidakpastian pekerjaan menjadikan banyak pasangan enggan membawa anak dalam kondisi saat ini.
Dengan kata lain: penurunan keinginan punya anak di AS tidak semata disebabkan karena “kurang dorongan”, tetapi karena hambatan struktural dan sosial yang lebih dalam — sehingga solusi cepat seperti bonus saja mungkin tidak cukup.
Implikasi bagi Masa Depan AS
Penurunan angka kelahiran yang konsisten bisa berdampak luas pada demografi dan ekonomi AS jangka panjang. Jika jumlah generasi muda sedikit sementara populasi lansia terus bertambah, beban pensiun, layanan kesehatan, serta ketidakseimbangan tenaga kerja bisa menjadi tantangan besar.
Pemerintah yang mendorong kebijakan pronatalis seperti bonus bayi dan kemudahan fertilisasi menunjukkan bahwa mereka menyadari potensi krisis demografi — tetapi keberhasilan kebijakan ini tidak hanya tergantung pada insentif, melainkan pada perubahan sistemik: perumahan yang terjangkau, akses layanan anak dan kesehatan, fleksibilitas kerja, serta jaminan sosial bagi keluarga muda.
Selain itu, perubahan sikap sosial terhadap memiliki anak, nilai-nilai keluarga, dan prioritas generasi muda juga berperan besar. Banyak pasangan kini mempertimbangkan kualitas hidup, stabilitas ekonomi, karier, dan kebebasan personal — faktor yang membuat keputusan punya anak menjadi kompleks.
Kesimpulan: Ancaman “Baby Bust” dan Perlu Solusi Komprehensif
Penurunan angka kelahiran di AS ke level terendah berarti negara adidaya itu kini menghadapi potensi waktu depan dengan generasi yang lebih sedikit. Respons dari pemerintahan — melalui dorongan untuk lebih banyak anak dan insentif — mencerminkan kekhawatiran nyata terhadap masa depan demografis.
Namun, untuk membalik tren tersebut, dibutuhkan kebijakan yang jauh lebih komprehensif dari sekadar bonus kelahiran: perbaikan ekonomi, biaya hidup, akses layanan kesehatan dan perawatan anak, serta lingkungan sosial yang mendukung keluarga muda. Tanpa itu, penurunan kelahiran kemungkinan akan terus berlanjut — dengan konsekuensi besar bagi struktur sosial dan ekonomi AS.
