
KATURI HOT – Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, memberikan penjelasan resmi terkait keputusan **pengembalian bantuan internasional berupa 30 ton beras yang berasal dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk korban banjir dan longsor di Sumut. Menurutnya, langkah tersebut dilakukan karena bantuan itu belum dilaporkan kepada pemerintah pusat sesuai dengan mekanisme yang berlaku, sehingga belum bisa diterima dan disalurkan terlebih dahulu.
Bantuan beras tersebut awalnya diterima oleh Pemerintah Kota Medan sebagai bentuk solidaritas dan dukungan dari Pemerintah UEA kepada masyarakat yang terdampak bencana. Selain beras 30 ton, total bantuan tersebut juga mencakup 300 paket sembako, termasuk perlengkapan bayi serta perlengkapan ibadah yang rencananya akan diserahkan kepada warga terdampak banjir.
Namun, setelah dilakukan pengecekan terhadap aturan dan regulasi pemerintah pusat, Walikota Medan Rico Waas menyatakan bahwa bantuan tersebut akhirnya dikembalikan kepada pihak UEA. Hal ini karena, sampai saat itu, pemerintah pusat belum memberikan persetujuan resmi untuk menerima bantuan dari luar negeri yang ditujukan bagi korban bencana di Sumut.
Penjelasan Bobby Nasution soal Mekanisme Bantuan Internasional
Bobby Nasution menegaskan bahwa proses penerimaan bantuan internasional harus melalui koordinasi dengan pemerintah pusat, termasuk Kementerian Terkait dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurutnya, seluruh bantuan yang masuk dari luar negeri belum sempat dilaporkan secara formal sehingga pihak provinsi memutuskan untuk mengikuti prosedur yang telah diatur.
“Untuk bantuan internasional sebaiknya dilaporkan, kami akan melaporkan ke pemerintah pusat,” kata Bobby saat dimintai keterangan pada Jumat (19/12/2025). Ia kemudian memastikan bahwa urusan regulasi ini telah disampaikan kepada Pemerintah Kota Medan, namun tetap perlu penyesuaian mekanisme sebelum bantuan itu dapat diterima dan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kontroversi dan Respons Publik
Keputusan ini memunculkan sorotan publik di tengah kondisi masyarakat Sumut yang masih berjuang menghadapi dampak banjir dan longsor besar yang terjadi beberapa waktu lalu. Banyak warga dan pengamat mempertanyakan sensitivitas dan koordinasi antar pemerintah daerah dan pusat, apalagi bencana yang menimpa ribuan warga telah menyebabkan kebutuhan pokok menjadi sangat mendesak.
Beberapa pihak melihat bahwa bantuan luar negeri semestinya bisa diterima cepat untuk meringankan beban penduduk yang terkena dampak. Ketidakjelasan proses regulasi dan pengembalian bantuan dipandang oleh sebagian publik sebagai kurangnya kesiapan penyelenggara pemerintahan dalam menghadapi situasi darurat bencana. Namun di sisi lain, pemerintah daerah tetap menekankan bahwa kepatuhan terhadap mekanisme hukum dan administrasi perlu dijaga agar proses bantuan berjalan transparan dan sesuai aturan.
Kebutuhan Bantuan dan Penanganan Bencana di Sumut
Bencana banjir dan longsor yang melanda beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara pada akhir November dan awal Desember 2025 memicu kebutuhan besar akan pasokan pangan, logistik, serta bantuan medis bagi korban bencana. Hingga kini, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah tetap berupaya menyalurkan bantuan logistik dan distribusi pangan ke wilayah yang masih terisolasi akibat kerusakan akses jalan.
Selain itu, pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengirimkan bantuan berupa komunikasi darurat, generator, serta unit Starlink untuk mendukung proses tanggap darurat. Langkah ini juga menunjukkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan kebutuhan dasar warga yang terdampak bisa dipenuhi secepat mungkin.
Tantangan Koordinasi dan Harapan Masyarakat
Kasus pengembalian 30 ton beras dari UEA ini menyoroti tantangan koordinasi antar level pemerintahan dalam penanganan bencana, terutama terkait bantuan internasional. Meski maksudnya adalah patuh terhadap prosedur, situasi darurat sering kali membutuhkan respons yang cepat dan terkoordinasi dengan baik.
Warga berharap bahwa ke depan mekanisme penerimaan bantuan internasional bisa disederhanakan atau ada jalur khusus dalam kondisi bencana luas, agar bantuan yang datang bisa langsung dimanfaatkan tanpa harus melalui proses panjang yang bertentangan dengan urgensi kebutuhan di lapangan.
