
KATURI HOT – Sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengejutkan publik setelah Polresta Barelang, bersama aparat hukum di Batam, menangani laporan seorang asisten rumah tangga (ART) asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur — bernama Intan Tuwa Negu (23) — yang mengaku dianiaya secara brutal oleh majikannya.
Korban disebut dipaksa untuk melakukan tindakan keji: memakan kotoran anjing milik majikan, minum air kloset, serta menerima kekerasan fisik berulang — hingga tubuhnya penuh luka, mengalami luka berat, dan trauma psikologis mendalam.
Jenjang penyiksaan itu mulai terungkap ketika video kondisi korban yang lebam tersebar di media sosial — yang kemudian memicu reaksi publik dan memaksa polisi bertindak cepat
Kronologi dan Fakta Kasus: Dari Perekrutan hingga Kekerasan
- Intan mulai bekerja pada majikannya — seorang perempuan berinisial Roslina — sejak Juni 2024. Selama bekerja, korban mengaku tidak pernah menerima upah sebagaimana dijanjikan (Rp 1,8 juta per bulan).
- Dalam rentang waktu satu tahun bekerja, penyiksaan mulai terjadi, dengan intensitas meningkat terutama dalam dua bulan terakhir sebelum laporan.
- Kekerasan yang dialami Intan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis dan penghinaan: ia diperlakukan tidak layak, tidak dipanggil dengan nama, melainkan diserang secara verbal dan dianggap sebagai objek.
- Peristiwa yang paling mengerikan: Intan dipaksa memakan kotoran anjing milik majikan. Bahkan korban juga dipaksa meminum air kloset.
- Ketika kondisi Intan memburuk, keluarga mendapat kabar melalui kerabat dan langsung melaporkan ke polisi. Polisi kemudian menangkap pelaku — yaitu Roslina dan satu ART lain berinisial Merliyati (22), yang diduga ikut melakukan penganiayaan atas perintah Roslina
Tuntutan Hukum: 10 Tahun Penjara bagi Pelaku
Pada Senin, 1 Desember 2025, sidang tuntutan digelar di Pengadilan Negeri Batam. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Roslina pidana penjara selama 10 tahun, karena perbuatan penganiayaan berat terhadap ART secara berulang.
Menurut dakwaan, kekerasan yang dilakukan termasuk pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) jo. pasal pidana dalam KUHP, termasuk tindakan yang menyebabkan luka berat dan penderitaan berat bagi korban dan keluarganya.
JPU menilai tidak ada hal yang meringankan bagi terdakwa, karena tidak kooperatif dan bahkan membantah perbuatannya. Sementara korban secara tegas menyatakan tidak akan memberikan maaf.
Reaksi Publik dan Sorotan Hak Asasi Manusia
Kasus ini memicu kegemparan sosial dan kemarahan publik, terutama karena bentuk penyiksaan yang ekstrem dan degradasi kemanusiaan dilakukan terhadap seorang pekerja rumah tangga — profesi yang rentan terhadap kekerasan, tetapi sering tak terdengar suaranya. Banyak kalangan menyerukan penegakan hukum yang tegas serta perlindungan hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia.
Lebih jauh, kasus ini menekankan pentingnya regulasi yang melindungi pekerja domestik — memperhatikan aspek gaji, hak cuti, kebebasan komunikasi, serta keamanan dan martabat mereka. Selain itu, publik juga menyerukan agar masyarakat lebih peka terhadap tanda-tanda penyiksaan, serta mendorong lembaga hukum dan hak asasi manusia untuk terus memperjuangkan keadilan.
Kenangan Tragis — dan Harapan Perbaikan Sistemik
Kisah Intan mencerminkan potret suram kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia: dari pekerja yang seharusnya dilindungi, malah diperlakukan seperti budak — tanpa hak atas gaji, tanpa akses ke kebebasan dasar, dan tanpa rasa kemanusiaan.
Namun, tuntutan 10 tahun penjara terhadap pelaku memberi harapan bahwa kejahatan seperti ini tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja. Apabila vonis nanti menegakkan keadilan, ini bisa menjadi pelajaran dan peringatan bagi masyarakat: bahwa pekerja rumah tangga punya hak atas perlindungan, kesetaraan, dan martabat — tak peduli status sosial.
Penutup: Suara Untuk Korban & Peringatan Bagi Pelaku
Kasus penyiksaan ART asal NTT di Batam — dipaksa makan kotoran anjing, minum air kloset, dan dianiaya fisik — adalah luka bagi nilai kemanusiaan. Tuntutan 10 tahun penjara bagi pelaku adalah langkah penting menuju keadilan, sekaligus menunjukkan bahwa kekerasan terhadap sesama manusia, terutama pekerja rentan, tak boleh dianggap ringan.
Semoga persidangan dan proses hukum selanjutnya berjalan dengan adil, korban mendapatkan pemulihan dan keadilan, dan sistem perlindungan terhadap pekerja rumah tangga diperkuat agar tragedi serupa tak terulang.
