
KATURI NEWS – Seiring konflik di Gaza terus bergolak, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengusulkan sebuah rencana perdamaian ambisius — tetapi motif di baliknya kerap dipertanyakan. Apakah ini benar upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik secara adil, atau sekadar strategi geopolitik untuk menguatkan posisi AS dan Israel?
Rencana 20 Poin Trump untuk Gaza
Pada 29 September 2025, Trump memperkenalkan rencana perdamaian 20 poin yang dia sebut sebagai “Comprehensive Plan to End the Gaza Conflict” (Rencana Komprehensif untuk Mengakhiri Konflik Gaza). Rencana tersebut diumumkan bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mencakup banyak elemen besar: penghentian tembakan, pembebasan sandera, rekonstruksi Gaza, dan pemerintahan transisi di Gaza lewat sebuah “Board of Peace” internasional yang dipimpin Trump sendiri.
Sesuai rencana itu, setelah perang, Gaza harus dikelola sementara oleh komite teknokrat Palestina yang diawasi Dewan Perdamaian internasional. Selain itu, ada ide pembentukan pasukan stabilisasi internasional dan keterlibatan sejumlah negara Arab dalam pemulihan ekonomi Gaza.
Ide Kontroversial tentang Gaza
Namun, beberapa aspek dari gagasan Trump menuai kritik keras. Salah satu yang paling kontroversial adalah wacana “pengambilalihan” Jalur Gaza oleh AS. Trump sempat menyatakan bahwa AS akan “mengambil” Gaza, dan bahkan mengusulkan relokasi penduduk Palestina ke negara tetangga seperti Yordania atau Mesir.
Usulan ini disebut menyimpang tajam dari kebijakan luar negeri AS yang tradisional terkait solusi dua negara, serta dikecam secara internasional. Raja Yordania Abdullah II secara tegas menolak gagasan tersebut, menyebutnya sebagai ide kolonial yang melanggar hak-hak warga Palestina.
Reaksi Palestina dan Dunia Arab
Warga Palestina juga geram. Menurut laporan, ungkapan Trump soal “mengambil alih” Gaza dianggap provokatif. Banyak analis menyebut bahwa ide seperti ini lebih mencerminkan dominasi kekuatan kuat ketimbang keadilan bagi rakyat Palestina.
Sementara itu, Trump juga mengklaim bahwa diskusi dengan Hamas dalam beberapa negosiasi gencatan senjata berjalan “sangat positif” menjelang pertemuan di Mesir. Tapi kritik besar datang dari kalangan yang menyatakan bahwa rencana tersebut memberikan terlalu banyak kontrol kepada aktor eksternal (seperti AS sendiri) atas nasib Gaza.
Risiko dan Tuduhan Komodifikasi Perdamaian
Bagi banyak pengamat, “perdamaian” versi Trump lebih menyerupai komoditas geopolitik: alat tawar dalam arena kekuasaan, bukan murni perwujudan keadilan atau kemanusiaan. Sejak lama, pola diplomasi luar negeri AS (termasuk di Timur Tengah) memang mengedepankan stabilitas strategis dan kepentingan nasional, bukan hanya soal hak-hak rakyat yang terdampak.
Rencana Board of Peace yang dipimpin Trump juga membuat sebagian pihak khawatir bahwa ini akan menciptakan sistem pengawasan asing, bukan pemulihan yang benar-benar milik Palestina. Selain itu, beberapa pengamat menyoroti bahwa kerangka “reformasi” Palestina yang diajukan Trump bisa menjadi syarat bagi kedaulatan yang sangat terbatas, sehingga menunda kemerdekaan nyata Palestina.
Keseimbangan Baru di Diplomasi Global
Pengusulan Trump datang di tengah tekanan regional dan internasional. Sebagai contoh, pada September 2025, Trump menegaskan bahwa dia menolak pengangkapan wilayah Tepi Barat oleh Israel (annexation), sesuatu yang sebelumnya sempat muncul dalam perdebatan. Tidak hanya itu, Dewan Keamanan PBB juga menyetujui beberapa bagian dari rencana perdamaian Gaza yang didorong Trump, termasuk pasukan stabilisasi dan kerangka pemerintahan transisi.
Namun demikian, skeptisisme tetap tinggi. Banyak pendukung Palestina menilai bahwa struktur pemerintahan sementara dan pengawasan internasional di bawah rencana Trump bisa berujung pada penjajahan politik baru, bukan kemerdekaan yang sejati.
Kesimpulan: Diplomasi atau Komoditi?
Melihat fakta yang ada, sulit mengabaikan bahwa rencana perdamaian Trump mengandung elemen strategis kuat yang melampaui sekadar diplomasi altruistik. Ide-idenya tentang kontrol sementara, relokasi penduduk, dan peran dominan AS dalam rekonstruksi Gaza menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah ini “perdamaian” untuk rakyat Palestina, atau perdamaian sebagai instrumen geopolitik yang menguatkan kekuasaan AS dan Israel?
Bagi sebagian pihak, upaya Trump bisa memberi harapan stabilitas jangka pendek dan penghentian perang — tetapi bagi yang lain, rencana itu justru memperlihatkan bagaimana kata “perdamaian” bisa dikomodifikasi untuk kepentingan negara besar, bukan semata demi keadilan dan martabat manusia Palestina.
