
KATURI HOT – Dalam sejarah panjang pemberantasan korupsi di Indonesia, satu hal yang selalu menarik perhatian publik adalah bagaimana para pelaku korupsi berusaha menyamarkan tindakan mereka melalui penggunaan kode atau istilah rahasia. Bahasa yang digunakan kadang terdengar lucu, unik, bahkan absurd — namun di balik itu tersembunyi makna serius: upaya mengelabui penegak hukum dan publik dari jejak transaksi suap atau gratifikasi.
Fenomena penggunaan kode dalam praktik korupsi bukan hal baru. Sejak era awal operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berbagai sandi aneh sudah bermunculan — mulai dari “kue”, “duren”, “aqua”, hingga “apel malang”. Semua istilah ini sekilas terdengar biasa, tapi ternyata menjadi simbol untuk uang suap bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Bahasa Rahasia dalam Dunia Gelap Korupsi
Dalam komunikasi antar pelaku korupsi, bahasa menjadi senjata utama. Mereka tahu bahwa pesan singkat, telepon, maupun chat mudah disadap. Maka, digunakanlah istilah yang sulit ditebak agar percakapan tampak wajar di permukaan.
Misalnya, seseorang menulis pesan “Sudah dikirim durennya dua” — bagi orang awam, kalimat itu tampak seperti urusan jual-beli buah. Namun bagi mereka yang terlibat, “duren” berarti uang tunai yang dikirim sebagai bagian dari kesepakatan suap.
Kode seperti ini biasanya lahir dari kebiasaan atau kesepakatan tertutup di antara pihak-pihak yang terlibat. Ada yang memakai simbol makanan, ada pula yang menggunakan nama benda sehari-hari. Tujuannya satu: agar komunikasi terlihat normal dan tidak mencurigakan.
Beberapa Kode Nyeleneh yang Pernah Terungkap
Berikut beberapa contoh kode rahasia yang sempat mencuat ke publik dalam sejumlah kasus korupsi besar di Indonesia:
- “Kue” dan “Duren”
Dua kata ini sering digunakan untuk menyebut uang suap. Bentuknya yang “berlapis” dan “harum” dianggap cocok menggambarkan uang yang datang diam-diam namun menggoda. Dalam salah satu kasus suap proyek infrastruktur, istilah “kue” bahkan menjadi sinyal pembagian jatah antar pihak. - “Aqua” dan “Teh Botol”
Sekilas ini seperti obrolan ringan tentang minuman, padahal mengacu pada nominal uang. Misalnya, “Aqua satu dus” bisa berarti seratus juta rupiah, sementara “Teh botol satu krat” bermakna nilai yang lebih besar. Pola ini dipilih karena mudah diucapkan tanpa menimbulkan kecurigaan. - “Apel Malang”
Kode ini sempat populer karena digunakan untuk menyebut suap dalam bentuk uang tunai. Kata “apel” dipilih karena konotasinya netral, sementara “Malang” menandai asal daerah pihak yang terlibat. Dalam konteks tertentu, “apel hijau” dan “apel merah” bahkan bisa menandakan nominal berbeda. - “Kambing” dan “Ayam”
Dalam beberapa kasus di pemerintahan daerah, istilah hewan dipakai sebagai sandi. Misalnya, “sudah dikirim dua kambing” berarti dua amplop besar, atau “tiga ayam” mengacu pada tiga paket uang untuk pejabat tertentu. Kode ini membantu pelaku berkomunikasi tanpa menarik perhatian. - “Proyek Jalan”, “Kamar”, atau “Paket”
Istilah proyek atau fasilitas umum sering disalahgunakan untuk menutupi transaksi ilegal. “Kamar sudah siap” bisa berarti dana sudah tersedia, sementara “paket jalan” bisa menandakan proyek yang telah “dijual” kepada kontraktor tertentu dengan imbalan tertentu.
Mengapa Para Koruptor Suka Menggunakan Kode?
Alasan utama tentu saja adalah keamanan. Dengan memakai kode, risiko pesan disadap atau dibaca oleh pihak luar menjadi lebih kecil. Namun, faktor psikologis juga berperan besar. Kode menciptakan rasa “terhubung” antar pelaku, seperti klub rahasia dengan bahasa sendiri. Mereka merasa lebih aman, bahkan bangga, karena bisa berkomunikasi tanpa diketahui orang lain.
Selain itu, penggunaan istilah nyeleneh juga menjadi bentuk rasionalisasi moral. Dengan menyebut uang suap sebagai “kue”, tindakan ilegal itu terasa lebih ringan. Kata “uang suap” terdengar menakutkan, tetapi “kue” terdengar seperti hadiah kecil. Dengan begitu, pelaku merasa tindakannya bukan pelanggaran besar, melainkan sekadar “tradisi” atau “ucapan terima kasih”.
KPK dan Penegak Hukum Mulai Kuasai Bahasa Sandi
Menariknya, semakin canggih para koruptor membuat kode, semakin terlatih pula aparat dalam menafsirkannya. Tim penyidik KPK kini memiliki pengalaman panjang dalam mengurai pesan-pesan misterius di balik percakapan pelaku. Dalam banyak OTT, terbukti bahwa kode seperti “apel” atau “duren” akhirnya bisa dipahami dan dijadikan bukti penting.
Beberapa penyidik bahkan mengaku telah membangun semacam “kamus internal” berisi istilah-istilah yang sering digunakan dalam kasus korupsi. Dengan bantuan teknologi digital dan analisis linguistik, pesan-pesan yang dulu tampak samar kini bisa diuraikan maknanya secara akurat.
Kode sebagai Cermin Budaya Korupsi
Di balik keunikan istilah-istilah itu, tersimpan potret budaya korupsi yang mengakar dalam masyarakat. Penggunaan bahasa yang nyeleneh menunjukkan bahwa praktik suap sering kali dianggap hal biasa. Bahasa diselewengkan menjadi alat untuk menyamarkan dosa. Semakin lucu kodenya, semakin ironis realitas yang tersembunyi di baliknya.
Jika ingin memberantas korupsi secara menyeluruh, upaya penegakan hukum perlu dibarengi dengan perubahan budaya. Masyarakat harus peka terhadap tanda-tanda semacam ini — karena korupsi tidak selalu tampil dengan kata “uang” atau “suap”. Kadang ia bersembunyi di balik kata yang terdengar manis: “kue”, “apel”, atau “teh botol”.
Penutup
Kode-kode rahasia dalam kasus korupsi di Indonesia adalah bukti betapa kreatifnya para pelaku dalam menyiasati hukum. Namun kreativitas itu digunakan untuk tujuan yang salah. Di balik permainan kata yang lucu, tersembunyi kerugian negara dan penderitaan rakyat.
Pada akhirnya, tidak ada kode yang benar-benar aman. Sebab cepat atau lambat, keadilan punya cara sendiri untuk memecahkan setiap sandi. Yang paling penting bukan sekadar mengungkap makna di balik kata-kata itu, tetapi menghentikan pola pikir yang membuat korupsi seolah bisa “dinormalisasi” dengan bahasa.
