
KATURI NEWS – Bank Indonesia (BI) kembali menjadi pusat perhatian pelaku pasar dan pengamat ekonomi domestik, setelah menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG BI) pada Selasa dan Rabu, 21–22 Oktober 2025. Spekulasi mengenai arah kebijakan suku bunga acuan BI kian mencuat, terutama setelah lembaga keuangan tersebut secara konsisten menurunkan suku bunga sepanjang tahun 2025.
Berdasarkan polling yang dihimpun CNBC Indonesia, mayoritas pelaku pasar memperkirakan bahwa BI kemungkinan besar akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada periode Oktober ini. Alasannya tak lain adalah untuk memberikan dorongan tambahan bagi perekonomian nasional yang tengah menghadapi tekanan global dan perlambatan konsumsi domestik.
Sejarah Pemangkasan Suku Bunga Sepanjang 2025
Sejak awal tahun, Bank Indonesia telah menempuh kebijakan moneter longgar guna menopang pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) telah diturunkan sebanyak lima kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps), yaitu pada Januari, Mei, Juli, Agustus, dan September 2025. Dari posisi 6,00% pada akhir Desember 2024, kini suku bunga acuan berada di level 4,75%.
Dalam RDG terakhir pada 16–17 September 2025, BI tidak hanya menurunkan suku bunga acuan, tetapi juga memangkas suku bunga fasilitas deposit (deposit facility) sebesar 50 bps menjadi 3,75%, serta suku bunga fasilitas pinjaman (lending facility) sebesar 25 bps menjadi 5,50%. Langkah ini menunjukkan sikap agresif bank sentral dalam merangsang likuiditas di pasar keuangan dan sektor riil.
Dilema Kebijakan: Menstimulasi Ekonomi vs Menjaga Stabilitas Rupiah
Meskipun pelonggaran moneter bisa membantu mempercepat pemulihan ekonomi, langkah ini juga membawa konsekuensi terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Saat ini, mata uang rupiah tengah menghadapi tekanan dari penguatan dolar Amerika Serikat akibat ekspektasi suku bunga tinggi yang berkepanjangan di negara tersebut.
Dilema inilah yang kini dihadapi Bank Indonesia. Di satu sisi, ekonomi domestik memerlukan “napas” tambahan agar tetap tumbuh di tengah perlambatan ekonomi global, konsumsi rumah tangga yang melemah, serta turunnya ekspor akibat menurunnya permintaan dari negara mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Eropa.
Namun di sisi lain, tekanan terhadap rupiah menjadi semakin nyata. Pemangkasan suku bunga acuan dapat memperlebar selisih imbal hasil (yield) antara surat utang Indonesia dengan surat utang AS, sehingga memicu aliran modal keluar dari pasar domestik. Kondisi ini bisa memperlemah nilai tukar rupiah lebih jauh dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan.
Respons Pasar dan Pelaku Usaha
Kalangan pelaku usaha dan dunia industri secara umum menyambut baik kebijakan penurunan suku bunga. Bunga yang lebih rendah dapat menurunkan beban biaya pinjaman, meningkatkan likuiditas, dan mendorong investasi serta konsumsi. Ini sangat dibutuhkan untuk menjaga momentum pertumbuhan, terutama di sektor-sektor padat karya dan industri pengolahan.
Namun, para investor di pasar keuangan menilai kebijakan ini harus ditempuh secara hati-hati. Jika ekspektasi pasar terhadap pelemahan rupiah meningkat, bukan tidak mungkin akan terjadi capital outflow dalam skala yang besar. Oleh sebab itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan pemerintah menjadi krusial, terutama dalam menjaga stabilitas makroekonomi.
Tantangan Global Masih Membayangi
Lingkungan eksternal masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi arah kebijakan moneter Indonesia. Ketidakpastian global akibat konflik geopolitik, suku bunga tinggi di Amerika Serikat, serta kekhawatiran akan perlambatan ekonomi China membuat prospek pemulihan ekonomi Indonesia menjadi penuh tantangan.
Selain itu, harga komoditas yang mulai menurun turut mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Penurunan ekspor dapat menekan surplus neraca berjalan dan memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, BI perlu mempertimbangkan dinamika ini secara menyeluruh dalam mengambil keputusan kebijakan.
Proyeksi Ke Depan
Jika tren pelonggaran moneter terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin suku bunga acuan Indonesia akan menyentuh level 4,50% atau bahkan lebih rendah menjelang akhir 2025. Namun langkah ini harus diimbangi dengan penguatan instrumen makroprudensial dan pengawasan ketat terhadap stabilitas nilai tukar serta arus modal.
Bank Indonesia juga diharapkan tetap menjaga komunikasi yang terbuka dengan pasar untuk menghindari kejutan kebijakan yang bisa memicu ketidakpastian. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan akan membantu menenangkan pasar dan menjaga kepercayaan investor.
Kesimpulan
Keputusan Bank Indonesia untuk kembali memangkas suku bunga acuan menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal yang meningkat. Namun, langkah ini juga menimbulkan tantangan baru dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah keluarnya arus modal asing.
Dilema antara mendukung pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas makro menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, kebijakan moneter ke depan perlu disusun secara hati-hati, terukur, dan disinergikan dengan kebijakan fiskal dan sektor riil. Hanya dengan pendekatan holistik, Indonesia dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tanpa mengorbankan stabilitas fundamentalnya.
